Jumat, Juli 17, 2009

SBY Gagal Total Indonesia Tak Aman, Polri Ingatlah Bom Marriot 2003 Diduga Melibatkan Gories Mere (Mega Mendung Mega Kuningan Meledak)

you

DIMUAT JUGA DI WWW.KATAKAMIINDONESIA.WORDPRESS.COM

Jakarta (17/7/2009) Entah harus memakai kata-kata apalagi untuk mengungkapkan, betapa tidak manusiawi dan tidak beradabnya sebuah kejahatan kemanusiaan yang sengaja ditujukan untuk mengorbankan masyarakat dan rakyatnya sendiri. Sandiwara demi sandiwara. Provokasi demi provokasi. Terus datang bersilih berganti menyakiti Indonesia. Menyakiti semua rakyat Indonesia.

Jakarta "MELEDAK" lewat bom MEGA KUNINGAN disaat calon presiden (capres) Megawati Soekarnoputri dan Muhammad Jusuf Kalla menggugat keras bahwa patut dapat diduga ada kecurangan yang sangat parah dala Pemilu Pilpres 2009. Semua harus melihat fakta bahwa omong kosong kalau disebutkan Indonesia aman.

Ledakan di Ritz-Carlton

Padahal sebenarnya POLRI sudah sangat maksimal dan penuh dedikasi menjaga keamanan di Indonesia.

Bom MEGA KUNINGAN ini meledak disaat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membanggakan bahwa pemerintahan mampu meredam dan mengatasi terorisme dan semua gangguan keamanan. Bangga bahwa Pilpres 2009 berhasil tanpa gangguan keamanan.

Apa yang mau dibanggakan ?

Apa yang diredam ?

Apa yang diatasi ?

Ini memalukan Indonesia.

Ini menyulitkan POLRI. Dan ini sangat menyedihkan hati rakyat INDONESIA.

Sambil diam termenung menatap hasil perbuatan yang tidak pantas lewat aksi peledakan yang mengejutkan "JAKARTA" pada hari ini, rasanya lebih baik membaca puisi yang menyentuh hati dari CHAIRIL ANWAR, "Kerawang - Bekasi". Ya, kenang, kenangkanlah jiwa kami !

Mengapa begitu susah untuk hidup secara kesatria dan teguh berpijak pada nilai kebenaran ?

Kami bertanya kepada anda yang "melakukan" peledakan ini.

Cukup. Jangan sakiti Indonesia terus menerus. Mengatasi teror bukan menciptakan teror-teror baru yang sangat melukai rasa aman dan rasa keadilan yang sangat didambakan rakyat Indonesia.



Bukan begini caranya untuk CARI MUKA kepada rakyat Indonesia. Begitu meledak, langsung ada yang buru-buru datang agar terlihat sigap dan penuh belas kasihan.

Bukan begini caranya untuk seolah-olah menjadi PAHLAWAN KESIANGAN (bagi siapapun juga yang merasa melakukan itu !).

Bukan begini caranya untuk memberikan tekanan kepada pihak manapun yang dianggap berseberangan atau penuh ancaman.

Sekali lagi, cukup ! Enough Is Enough.

Sadis sekali. Kok tidak malu melakukan semua ini kepada rakyat Indonesia. Sedihnya hidup di zaman Nyudo Nyuwo yang serba tragis di negeri tercinta ini. Ya, ini zaman Nyudo Nyowo yang artinya kurun waktu beberapa tahun terakhir ini sudah begitu banyak rakyat Indonesia yang menjadi korban sia-sia.

Ibu pertiwi menangis.

Sesedih ratapan tangis para korban, keluarganya dan seluruh rakyat Indonesia.

Ledakan yang terjadi pada Jumat (17/7) pagi itu terjadi pada sekitar pukul 07:45 WIB.

Ledakan pertama terjadi di Hotel Ritz-Carlton kemudian beberapa lama kemudian terjadi di Hotel JW Marriott.

Ledakan Mega Kuningan, Presdir Holcim Indonesia Meninggal

Presiden Direktur PT Holcim Indonesia Tbk, Timothy Mackay, menjadi salah satu korban ledakan yang terjadi di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat, dan dikabarkan meninggal dunia di RS Medistra.

Hingga Jumat pukul 10.00, sebanyak 48 orang telah menjadi korban luka, akibat dua ledakan ledakan yang terjadi di Hotel JW Marriot, dan di Hotel Ritz-Carlton, di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, demikian Pusat Pengendalian Krisis Departemen Kesehatan (PPK-Depkes).

POLRI harus usut kejadian ini sampai tuntas.

Ayo Polri, turunkan ke sana Detasemen Khusus (Densus 88) Anti teror, ini bagian Densus 88.

Siapapun yang ada di belakang aksi peledakan bom yang sangat kotor ini, entah itu TERORIS sungguhan atau patut dapat diduga ada pihak yang secara sistematis dan melembaga mampu melakukan aksi bau terasi yang kotor ini.

Lucu, patut dapat diduga aksi peledakan bom hari ini adalah sesuatu yang "lucu tapi tak lucu" karena ANCAMAN TERORISME itu sebenarnya sudah sepi dan tiarap di Indonesia. Ayo Polri, turunkan ke sana Densus 88 Anti Teror !

Dan jangan ada yang disembunyikan atau diamankan bila ternyata nanti ... patut dapat diduga ada keterlibatan orang kuat atau oknum dari lembaga tertentu. POLRI, ingatlah bahwa patut dapat diduga Komisaris Jenderal Gories Mere terlibat dalam aksi peledakan bom di Hotel JW Marrit Tahun 2003.


(Kami lampirkan tulisan sebelumnya ODE UNTUK PRESIDEN OBAMA YANG MENGHAPUSKAN MOTTO PERANG MELAWAN TEROR).

Tahun 2003 yang lalu, HotelJW Marriot meledak hanya beberapa hari menjelang penangkapan teroris HAMBALI di Thailand -- yang kemudian diserahkan kepada Rezim Bush di Amerika Serikat, bukan justru dikembalikan ke Indonesia).

Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri harus secara jujur mau membuka dan melebarkan pemeriksaan terhadap kemungkinan dugaan keterlibatan Saudara Gories Mere.
POLRI harus berani menindak tegas personilnya sendiri jika memang patut dapat diduga terlibat dalam AKSI BRUTAL ini. Keterlaluan. Tidak ada TERORIS yang asyik-asyikan menginap didalam hotel. TERORIS pasti akan mencari peluang yang tercepa -- secepat kilat untuk tidak berlama-lama di lokasi peledakan bom --.

Sangat aneh dan luar biasa "GENIUSNYA" bom aktif dan pelakunya diduga menginap di HOTEL itu. Ingat, semua HOTEL BERBINTANG di Indonesia akan melewati prosedur pengamanan yang sangat ketat dan berlapis. Bagaimana mungkin, bisa menyusup masuk BOM AKTIF ke dalam hotel berbintang 5 yang sudah pernah mengalami atau menjadi korban peledakan bom.
Komsaris Jenderal Gories Mere adalah orang yang diduga paling banyak tahu mengenao seluk beluk aksi terorisme ini. Periksa dan jangan ditampik semua peluang yang dimungkinkan menjadi penyebab dan otak pelakunya.

Mau main-main ya terhadap keselamatan rakyat Indoneasia ?

Mau bikin malu dan mencoreng wajah Indonesia ?

Jangan sesumbar bahwa Pemilu Pilpres 2009 aman dan mesam mesem mendapat pujian atas AMAN-nya Pemilu Pilpres 2009 diIndonesia.

Apa yang aman ?

Lihat itu, banyak sekali warga negara asing yang jadi korban. Kayak begini, kok masih ada yang berani-beraninya membanggakan diri atau sesumbar bahwa Indonesia aman.

Omong kosong.

Siapapun aktor intelektual dan para pelaku yang terlibat, harus ditangkap dan dihukum seberat-beratnya. Jangan ragu. Maju, usut sampai terbuka semua kejahatan kotor yang mencoba untuk menari-nari diatas penderitaan orang lain.

Kesedihan dan ratap tangis akibat ledakan BOM ini sungguh mengingatkan pada pusi CHAIRIL ANWAR berikut ini :

Lucu, patut dapat diduga aksi peledakan bom hari ini adalah sesuatu yang "lucu tapi tak lucu" karena ANCAMAN TERORISME itu sebenarnya sudah sepi dan tiarap di Indonesia.

Ayo Polri, turunkan ke sana Densus 88 Anti Teror !

Dan jangan ada yang disembunyikan atau diamankan bila ternyata nanti ... patut dapat diduga ada keterlibatan orang kuat atau oknum dari lembaga tertentu.

Mau main-main ya terhadap keselamatan rakyat Indoneasia ?

Mau bikin malu dan mencoreng wajah Indonesia ?

Jangan sesumbar bahwa Pemilu Pilpres 2009 aman dan mesam mesem mendapat pujian atas AMAN-nya Pemilu Pilpres 2009 diIndonesia.

Apa yang aman ?

Lihat itu, banyak sekali warga negara asing yang jadi korban. Kayak begini, kok masih ada yang berani-beraninya membanggakan diri atau sesumbar bahwa Indonesia aman.

Omong kosong.

Siapapun aktor intelektual dan para pelaku yang terlibat, harus ditangkap dan dihukum seberat-beratnya.

Jangan ragu.

Maju, usut sampai terbuka semua kejahatan kotor yang mencoba untuk menari-nari diatas penderitaan orang lain.

Kesedihan dan ratap tangis akibat ledakan BOM ini sungguh mengingatkan pada pusi CHAIRIL ANWAR berikut ini :

Keamanan Diperketat

KERAWANG BEKASI (CHAIRIL ANWAR)

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

Chairil Anwar (1948)

LAMPIRAN TULISAN SEBELUMNYA (DOKUMEN KATAKAMI BULAN APRIL 2009) :


ODE UNTUK PRESIDEN OBAMA YANG MENGHAPUSKAN MOTTO KALIMAT PERANG MELAWAN TEROR

Jakarta, 3 April 2009 (KATAKAMI) Selalu ada kejutan dari seorang Barack Hussein Obama. Ia sangat tak terduga. Benar-benar tak terduga. Bahkan dalam menjajaki tangga karier politiknya, Obama tak mau jadi politisi kejutan yang baru sibuk kampanye dan “teriak-teriak” berorasi secara dadakan hanya untuk untuk meraih kemenangan. Semua direncanakan, dilaksanakan dan diupayakan secara cerdas Oleh Obama.

Dan kali ini, ia mengambil sebuah keputusan yang bijaksana. Motto utama dari KABINET BUSH selama bertahun-tahun yaitu kalimat “PERANG MELAWAN TEROR” dihapuskan secara total oleh Obama.

Tapi, bukan berarti Obama menghapuskan konsistensi AS dalam menangani dan memberantas masalah terorisme. Yakinlah bahwa penanganan dan pemberantasan terorisme akan tetap dilanjutkan oleh Pemerintah AS tetapi sedapat mungkin harus sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Tak bisa lagi semena-mena atau menghalalkan semua cara.

Dan penghapusan kalimat PERANG MELAWAN TEROR itu adalah kabar baru yang mengejutkan. Itu juga menjadi angin segar yang akan membawa dunia ke arah lebih manusiawi dan kondusif.

Pasti, tidak mudah bagi Presiden OBAMA untuk mengumumkan kebijakan seperti ini karena bisa disalah-artikan.

Tetapi ayah dari 2 anak ini berani mengambil keputusan. Semuanya itu, pasti demi bersinarnya lagi kemilau kedigdayaan bangsa AMERIKA SERIKAT yang sepenuhnya menghormati, mentaati dan konsisten menjalankan nilai-nilai Kemanusiaan, Hukum dan HAM.

Bayangkan, atas nama PERANG MELAWAN TEROR, Bush menghalalkan semua cara untuk melakukan invasi militer ke sejumlah negara yaitu Afghanistan dan Irak.

Atas nama PERANG MELAWAN TEROR, Bush memerintahkan dibukanya Penjara yang patut dapat diduga menjadi ladang penyiksaan bagi siapa saja yang dicurigai AS sebagai TERORIS yaitu Penjara Guantanamo. Tanpa ada proses hukum dan tanpa perlu mengikuti kaidah-kaidah hukum, ratusan orang diseret untuk dibantai disana.

Betapa malunya AS, foto-foto penyiksaan itu bocor melalui kecanggihan teknologi. Dan tanpa disadari, kegarangan dan keganasan itu menimbulkan kebencian, antipati dan jungkir baliknya respek semua bangsa bangsa serta umat manusia di seluruh dunia terhadap AS.

Atas nama PERANG MELAWAN TEROR, Bush menghamburkan uang negara untuk membantu siapa saja dan negara mana saja yang dianggap bisa mengadopsi motto “PERANG MELAWAN TEROR” sehingga BUSH tidak “kesepian” dengan mimpi buruknya yang sangat berkepanjangan.
AS seakan tersentak disaat menyadari bahwa negara mereka mengalami krisis keuangan yang sangat parah pada era kekinian. Padahal jika BUSH mau atau bisa sedikit saja mengendalikan amukan dan gejolak emosi yang meletup-letup dalam penanganan terorisme, AS bisa berhemat secara luar biasa dalam anggaran negara.

Satu contoh kecil saja, saat teroris Hambali ditangkap di Thailand tgl 11 Agustus 2003. Kabarnya Pemerintah AS memberikan bonus uang USD 4 Juta untuk Pemerintah Thailand. Untuk apa ? Ya, untuk menjadi tanda terimakasih atas “keluguan” Thailand mau menyerahkan ke AS teroris yang berutang sangat banyak kasus tindak pidana terorisme di INDONESIA yaitu Hambali.

Kenapa tidak diserahkan ke Indonesia, tetapi malah ke AS ? Dan beberapa waktu lalu, kami coba untuk mempelajari data dan catatan di berbagai media massa. Proses penyerahan Hambali kepada Pihak AS menjelang akhir bulan Agustus 2003, terpaut sekitar 6 hari sesudah peledakan bom di Hotel JW Marriot Jakarta (Agustus 2003).

Kita tentu masih ingat kontroversi yang terjadi pada saat itu bahwa patut dapat diduga rencana peledakan itu sudah “bocor” duluan ke telinga Pihak AS sehingga pemesanan kamar dari rombongan AS dibatalkan menjelang hari naas.

Seandainya boleh ditarik benang merah dan dipertanyakan (walau sangat terlambat mempertanyakan hal ini), mengapa petinggi Anti Teror yang memang tahu bahwa Hambali adalah otak pelaku dan termasuk dalang utama semua aksi peledakan bom di Indonesia sejak peristiwa bom malam natal bisa “santai-santai saja” saat termonitor Hambali ditangkap ?
Padahal biasanya apa saja bisa langsung cepat tahu ? Mengapa bisa sangat kebetulan sekali, yaitu 2 minggu sebelum Hambali “dihadiahkan” Pemerintah Thailand kepada Pemerintah Bush, terjadi “lagi” peledakan bom di Indonesia ?

Yurisdiksi hukum dari penindakan hukum bagi seorang Hambali adalah di Indonesia dan agak aneh sebenarnya mengapa Thailand bisa dengan sangat aman sentosa menyenangkan hati Bush (tanpa ada sedikitpun berkoordinasi dengan Tim Anti Teror ?).


Sampai langit ini runtuh, Indonesia tak akan bisa memaafkan jika patut dapat diduga ada sesuatu yang memang sangat misterius dibalik peristiwa itu.


Dalam artian, jika patut dapat diduga ada OKNUM-OKNUM yang belagak tidak tahu bahwa “mangsa utama” penanganan terorisme di Indonesia sudah diciduk oleh kolega mereka tetapi belagak pilon saja agar berjalan lancar proses penyerahan itu kepada AS.


Jika Pemerintah Thailand saja dikabarkan mendapat dana sekitar USD 4 juta, patutkah dapat diduga ada OKNUM-OKNUM tertentu yang mendapat “angpao” juga agar seolah-olah memang tidak tahu samasekali proses tertangkapnya Hambali di Thailand karena memang sangat sibuk terhadap penanganan aksi peledakan bom di Marriot ?

Tidak ada yang tahu apa sebenarnya yang terjadi, kecuali … ?

Agustus 2003, setelah Pemerintah Thailand menyerahkan Hambali maka tidak lama setelah itu dengan bangganya BUSH mengumumkan kepada dunia internasional bahwa seorang teroris paling berbahaya sudah berhasil ditangkap.

Sejak itu, HAMBALI seakan menjadi “executive member” atau anggota istimewa di Penjara Guantanamo.

Dan setelah hampir 6 tahun mendekam disana, kabar terakhir yang beredar adalah pria kelahiran Cianjur ini sudah memegang paspor sebagai warga negara Spanyol. Selama berada di Guantanamo, tidak ada satupun proses hukum yang dilakukan terhadap Hambali.
Bahkan POLRI tidak pernah diizinkan mendapatkan akses untuk bertemu Hambali di Guantamo. Padahal Hambali adalah otak pelaku alias dalang dari sejumlah aksi peledakan bom di Indonesia.

Kabar tentang diberikannya paspor Spanyol kepada HAMBALI memberikan indikasi bahwa dalam rangka penutupan Penjara Guantanamo per bulan Januari 2010 mendatang, maka besar kemungkinan HAMBALI akan ditransfer ke Spanyol untuk menjadi tahanan di negara itu.
Saat ini, AS memang gencar melobi sejumlah negara untuk mau menampung sisa dari tahanan-tahanan Guantanamo. Sebab, sebagian besar memang dipulangkan ke negaranya masing-masing.

Patut dapat diduga, fakta bahwa HAMBALI adalah petinggi Al Qaeda Asia dan Hambali jugalah yang berada dibalik sebagian besar aksi peledakan bom (terutama di Indonesia yaitu sejak peledakan bom malam Natal tanggal 24 Desember 2000), tampaknya benar-benar menjadi faktor pertimbangan AS untuk tetap “menunda” mudiknya HAMBALI ke Indonesia.
Jika HAMBALI diekstradisi ke Indonesia, ia juga tak akan pernah bisa luput dari proses penegakan hukum di Indonesia.

Sebab, Hambali berutang sangat banyak kepada bangsa, negara dan rakyat Indonesia karena sudah meluluh-lantakkan nilai-nilai peradaban di negara ini lewat serangkaian aksi peledakan bom.

Kembali pada kebijakan Presiden OBAMA untuk menghapus kalimat “PERANG MELAWAN TEROR” dalam agenda resmi pemerintahan mereka dalam menangani sektor keamanan nasional atau National Security”, sekali lagi kebijakan Presiden Obama ini jangan diartikan bahwa AS akan berhenti memerangi terorisme.

AS pasti akan tetap konsisten untuk menangani tindak pidana terorisme !

Namun, konsistensi itu akan disesuaikan dan dikembalikan kepada “rel” yang sebenarnya yaitu melakukan proses penegakan hukum tetapi bukan dengan melanggar hukum itu sendiri.

Contoh yang bisa diambil bahwa Presiden Obama tidak ingin ada tindakan yang melawan hukum dari aparatnya sendiri dalam proses hukum kasus terorisme adalah dengan dihapuskannya juga metode interogasi lewat cara WATER BOARDING yaitu menyiramkan air sebanyak-banyaknya ke arah muka (kepala) si “teroris” ke dalam air sampai benar-benar nyaris kehabisan nafas agar mau mengakui.

Cara penyiksaan yang tidak manusiawi seperti itulah yang dipakai oleh aparat PEMERINTAH BUSH selama ini dalam menangani orang yang dituduh sebagai teroris.
Hukum adalah hukum. Law is law.

Dan Presiden OBAMA menyadari bahwa penegakan hukum yang semurni-murninya adalah sesuatu yang mutlak harus dilakukan oleh kabinetnya saat ini.

Ambruknya derajat dan martabat AS karena beberapa tahun terakhir ini dituding sebagai negara yang paling keji dalam memperlakukan para tahanannya adalah buah dari motto kalimat “PERANG MELAWAN TEROR” tadi.

Contoh lain yang bisa diambil tentang kebrutalan terkait penanganan terhadap para tahanan (bukan tawanan tetapi tahanan !), adalah oknum Sersan yang akhirnya divonis pidana kurungan selama 35 tahun oleh Mahkamah Militer AS pada awal pekan ini. Sersan itu dengan “enaknya” menembak mati 4 orang tahanan di Irak dengan cara menembak para tahanan itu dari bagian belakang batok kepala.

Dan dalam kaitan misi pengembalian penanganan tindak pidana terorisme pada proses hukum yang “murni” di AS, maka kebijakan Presiden Obama menghapuskan kalimat “PERANG MELAWAN TEROR” itu menjadi sebuah tanda dan pemberitahuan bagi negara-negara lain atau pihak manapun (OKNUM orang-perorang) yang selama ini “tidak sadar” bahwa perilaku mereka jauh lebih buruk dari AS dalam menangani masalah terorisme.

Misalnya saja, ikut-ikutan juga menangkapi siapa saja yang dicurigai sebagai teroris. Main ciduk saja dan mengumumkan bahwa ia sudah menangkap teroris sekian ratus orang. Padahal belum tentu yang ditangkapi itu adalah teroris atau terbukti bersalah melakukan tindak pidana terorisme.

Tapi supaya kelihatan keren dan hebat dimata Pimpinan, Pemerintah Indonesia dan bahkan dimata Pemerintah AS serta dunia internasional, maka diseret saja siapapun yang bisa diseret atas nama penanganan terorisme. Lalu, langsung diumumkan kepada media massa bahwa orang yang ditangkap dengan nama si A, si B dan si C adalah teroris jaringan tertentu.

Padahal belum tentu demikian. Tapi tidak ada yang bisa memprotes selama ini karena seolah-olah OKNUM Petinggi tertentu dalam penanganan terorisme di Indonesia ini, yang paling berhak tahu dan menangani masalah terorisme tersebut.

Ingat, pembuktian tentang bersalah atau tidaknya seseorang yang bermasalah dengan “hukum” adalah saat majelis hakim mengetuk palu dengan memberikan vonis kepada masing-masing terdakwa (apakah terdakwa itu terbukti bersalah atau justru sebaliknya).

Jadi sebelum ada vonis dari majelis hakim, maka prinsip hukum tentang asas praduga tak bersalah atau presumption of innocent wajib dihormati dan dilaksanakan.

Bukan tidak mungkin, Presiden Obama saat ini akhirnya tahu bahwa akibat gembar-gembor dan perilaku yang “over acting” (berlebihan) akibat motto “PERANG MELAWAN TEROR” tadi, sejumlah OKNUM yang selama bertahun-tahun mendapatkan berbagai pelatihan atau bantuan teknis untuk meningkatkan kemampuan dalam menangani terorisme di negaranya masing-masing, justru menyalah-gunakan semua atensi, ilmu dan kemampuan yang didapatkan berdasarkan kebaikan hati AS.

Bayangkan saja, maksud AS sebenarnya memberikan semua bantuan itu agar dalam upaya penanganan terorisme itu bisa lebih tajam dan membuahkan hasil yang nyata.

Tetapi patut dapat diduga, ada dampak yang sangat fatal yaitu semua “ilmu” itu ada yang justru disalah-gunakan atau dipraktekkan kepada pihak lain yang tidak bersalah samasekali.
Entah itu jenis ilmu dan kemampuan teknis apapun yang serba canggih dari Penyidik-Penyidik AS Dinas Intelijen Rahasia AS (CIA) atau Biro Investigasi Federal (FBI).

Siapa bilang, semua ilmu dan kemampuan teknis itu tidak mungkin disalah-gunakan ?

Segala sesuatu mungkin saja dilakukan dan patut dapat diduga di Indonesia inipun penyalah-gunakan itu ada dilakukan oleh OKNUM orang per orang (sekali lagi, yang patut dapat diduga menyalah-gunakan itu adalah OKNUM yang merasa paling jago dalam hal penanganan terorisme di Indonesia selama ini).

Dilatih dan diajari untuk melacak keberadaan teroris menggunakan kecanggihan teknologi misalnya, entah itu dari alat penyadap telepon (intercept) dan teknologi pada dunia maya (cyber media) ternyata ilmu yang sangat “rahasia” ini malah digunakan untuk merugikan pihak lain yang nyata-nyata bukan teroris.

Privacy atau wilayah pribadi orang lain, serta hak-hak yang sangat mendasar dari warga sipil tak bersenjata, menjadi diobrak-abrik kalau misalnya patut dapat diduga ada OKNUM yang asyik saja menyalah-gunakan semua “ilmu, alat dan kemampuan teknisnya” selama ini yang diperoleh dari Pihak AS.

Apalagi karena pembuktian dari semua “kejahatan siluman” bersifat sangat absurd dan memang sulit pembuktiannya di lapangan, maka patut dapat diduga merajalela semua penyalah-gunaan itu dalam aplikasinya pada kehidupan sehari-hari.

Yang repotnya lagi, atas nama penanganan terorisme dan predikat sebagai pelaku-pelaku gerakan intelijen maka patut dapat diduga OKNUM-OKNUM yang memang memiliki akses penyadapan dan kecanggihan teknologi untuk sektor keamanan nasional akan saling menjegal dan saling meniru dalam hal melakukan perbuatan melawan hukum karena didorong rasa rivalitas yang sangat tinggi.

Tidak ada yang menjamin bahwa semua perangkat penyadapan dan kecanggihan teknologi itu digunakan secara baik dan benar !

Tidak ada pengawasan yang bisa dipertanggung-jawabkan secara hukum karena masing-masing kubu tak akan pernah bisa diakses oleh pihak luar yang punya otoritas hukum melakukan penindakan jika itu menyalahi aturan perundang-undangan !

Sehingga, patut dapat diduga dibebaskannya OKNUM-OKNUM menggunakan semua itu seenaknya sendiri tanpa ada pengawasan yang ketat, bisa membuka peluang bagi terciptanya proses kudeta atau perbuatan melawan hukum lainnya dengan dibantu peralatan penyadapan dan kecanggihan teknologi yang dibeli sangat mahal oleh negara untuk penanganan terorisme.
AS, terutama Presiden OBAMA, tentu sekarang merasa bersalah jika patut dapat diduga ada penyalah-gunaan ilmu dan peralatan penanganan anti teror di negara-negara lain yang dalam masa keemasan prinsip PERANG MELAWAN TEROR, diberi keutamaan dan fasilitas dalam menyerap ilmu dan bergelimpangannya “dolar” dari kabinet BUSH dalam upaya memberantas tindak pidana terorisme.

AS, terutama Presiden OBAMA, tentu merasa bersalah juga jika akhirnya bangsanya sendiri yang bangkrut karena selama bertahun-tahun lamanya memposisikan diri seperti “sinterklas” yang mudah memberikan dan membantu apa saja tanpa ada batasan limit.

Padahal patut dapat diduga, ada juga bantuan keuangan itu yang masuk ke kantong pribadi orang per orang yang terlibat langsung di lapangan dalam penanganan terorisme di berbagai negara.

Satu hal yang perlu dibuka misterinya kepada seluruh rakyat Indonesia adalah berapa dan mana pertanggung-jawaban dari semua dana bantuan dalam penanganan terorisme di Indonesia dari negara asing ?

Jika selama ini ada Petinggi-Petinggi Anti Teror atau Perwira Menengah yang mendapatkan pelatihan demi pelatihan, perjalanan dinas dalam rangka pendidikan anti teror atau hal ihwal apapun yang terjalin atas nama kerjasama penanganan terorisme (terutama dari Pihak AS), berapa nilai total dari semuanya itu selama kurun waktu 6 tahun terakhir ?

Rakyat Indonesia berhak tahu karena kebaikan hati Pemerintah AS itu diberikan dalam rangka kerjasama penanganan terorisme antara AMERIKA SERIKAT DAN INDONESIA, bukan dengan orang per orang.

Ini harus dicamkan baik-baik !

Sehingga, siapa saja yang selama ini menikmati dan mendapatkan semua fasilitas, uang, alat, pendidikan, pelatihan dan semua jenis bantuan dari Pemerintah AS selama kurun waktu 6 tahun terakhir harus bisa (dan wajib hukumnya) bisa mempertanggung-jawabkan semua itu kepada rakyat Indonesia.

Dan kalau mau kejam sedikit dan sangat tajam mengupas tuntas misteri aksi terorisme ini, patut dapat diduga ada juga aksi peledakan bom itu yang bukan dilakukan oleh kalangan teroris itu sendiri alias direkayasa.

Ini bukan mustahil sebab semua hasil penyidikan dan setumpuk barang bukti yang diserahkan misalnya, memungkinan oknum-oknum tertentu meniru gerak, langkah dan strategi kalangan teroris itu sendiri.

Hanya Tuhan yang tahu dan biarlah itu menjadi tanggung-jawab dari oknum masing-masing antara diri mereka kepada Sang Pencipta jika ternyata hal semacam ini ada terjadi di belahan dunia ini.

Sketsa wajah oknum perwira tinggi yang patut dapat diduga meloloskan ALI IMRON agar tidak terkena mati, lalu pura-pura dipinjam dari LP Krobokan Bali dari mulai tahun 2003 sampai saat ini. Bahkan, patut dapat diduga mendanai ALI IMRON hidup berkemewahan dari hotel ke hotel dan apartemen mewah, serta membuatkan buku memoar serba luks untuk ALI IMRON. Ada apa sebenarnya antara oknum perwira tinggi ini dengan JARINGAN TERORISME ?

Lalu, satu hal yang perlu disampaikan kepada Presiden OBAMA, apakah AS bisa memahami dan menerima dengan lapang dada bahwa anggaran keuangan negara mereka yang selama ini diberikan kepada INDONESIA dalam penanganan terorisme, berjalan dengan timpang dalam kasus peminjaman terpidana ALI IMRON ?

Terpidana kasus Bom Bali I ini, bisa luput dari vonis mati hanya karena dianggap bisa bekerjasama. Lalu, ia mendapatkan vonis pidana kurungan (penjara) seumur hidup. Tapi apa yang terjadi ?

Ali Imron, dipinjam dari LP Krobokan sejak ia menerima vonis dari majelis hakim tahun 2003 dan tidak pernah lagi dikembalikan ke penjara. Teroris yang merupakan pelaku utama dari Bom Bali I ini justru dibiayai oleh OKNUM Petinggi Anti Teror untuk hidup serba mewah dan dibuatkan buku otobigrafi yang sangat lux.

Apa yang bisa dibanggakan dari tindakan OKNUM Petinggi Anti Teror yang seperti ini ? Sangat memalukan ! Benar-benar memalukan dan keterlaluan.

Kalau misalnya sekarang, rakyat AS tahu bahwa dana yang digelontorkan oleh negara mereka untuk penanganan terorisme di Indonesia ini, justru dinikmati juga oleh seorang teroris paling “berbahaya” yaitu hidup berkemewahan dengan fasilitas penuh yang sempurna ?
Dimana konsistensi dari penegakan hukum karena korban yang masih hidup dari peledakan BOM BALI I saja, sampai saat ini banyak yang harus hidup menderita dalam keadaan cacat permanen ?

Sementara Ali Imron, ia berleha-leha bagaikan konglomerat muda yang serba bergelimpangan harta.

Tahukah Presiden OBAMA bahwa tindakan semacam ini yaitu kesewenang-wenangan dengan memberikan kemewahan dan kebebasan yang absolut kepada teroris sekotor Ali Imron ini adalah sebuah bentuk pengingkaran dan pengkhianatan terhadap misi penanganan terorisme ?
Ali Imron harus dikembalikan ke dalam penjara, tidak bisa tidak !

Kalau perlu, Petinggi Anti Teror yang selama ini seenaknya saja menggunakan keuangan negara atau bantuan dari negara lain untuk membiayai teroris Ali Imron hidup berkemewahan harus diseret ke muka hukum untuk mempertanggung-jawabkan tindakannya yang sangat memalukan Indonesia. Jangan bicara soal keberhasilan penanganan terorisme kalau teroris yang harusnya bertanggung-jawab terhadap kasus Bom Bali I saja, justru dibiayai hidup berkemewahan.

Ada apa dibalik semuanya itu ?

Bahkan sudah saatnya, KABINET OBAMA menelusuri hal ini, yaitu apakah ada dana bantuan dari AS yang disalah-gunakan untuk membiayai hidup Ali Imron secara berkemewahan !
Dan Presiden OBAMA perlu “memasang mata dan telinga” dari Pemerintahan yang dipimpinnya saat ini apakah patut dapat ddiuga ada OKNUM tertentu yang selama bertahun-tahun ini mendapatkan bantuan dari AS dalam menangani terorisme, menjadi milyuner atau bahkan triyuner dari hasil komiditi dagang di bidang penanganan terorisme ?

Semua mungkin saja terjadi ! Dan karena belum terbongkar maka rakyat Indonesia belum tahu apa sebenarnya yang terjadi

Tragedi serangan 11 September 2001 di AS, sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan hati dan memprihatinkan. Tak cuma bagi AS, tapi bagi bangsa-bangsa didunia
Dibalik keputusan Presiden Obama untuk menutup Penjara Guantanamo dan meluruskan penanganan terorisme itu sendiri agar sesuai dengan kaidah hukum, maka tampaklah keseriusan KABINET OBAMA untuk melakukan hal-hal yang memang semestinya dilakukan selama ini.

Dan semua pihak harus menghargai niat baik dari Presiden OBAMA.

AS tak akan pernah mungkin menghapuskan sejarah kelam terkait Tragedi Serangan 11 September 2001. Serangan itu adalah aksi teror yang paling biadab dan sangat “tak termaafkan” sebenarnya. Tetapi tak ada negara manapun di dunia ini yang bisa dibiarkan main hakim sendiri atau menerapkan hukum rimba di negara mereka.

Hukum adalah hukum. Law is Law.

Penanganan terhadap tindak pidana terorisme memang harus tetap dilanjutkan dan diteruskan.
Ini tidak boleh berhenti hanya sampai disini. Kewaspadaan tetap harus dilakukan karena sedikit saja lengah maka kalangan teroris yang sedang “tiarap” itu bisa kumat sakit moralnya.

Kerjasama antara AS dan negara-negara manapun di dunia ini dalam penanganan terorisme juga harus tetap dilanjutkan dan diteruskan. Tetapi, jangan lagi dibuat sangat absolut atau tidak terbatas. Semua harus terukur, terarah dan bisa dipertanggung-jawabkan.

AS, khususnya Presiden OBAMA, juga harus menertibkan berbagai ilmu atau produk apapun yang selama bertahun-tahun lamanya disebar atau diberikan ke sejumlah pihak dalam misi PERANG MELAWAN TEROR tadi, tetapi terindikasi telah disalah-gunakan.

Harus ada terobosan yang sifatnya tertib hukum dalam penggunaan ilmu atau produk apapun yang berasal dari AS untuk penanganan terorisme yang disalah-gunakan tadi.

Sebab, jika patut dapat diduga ada pihak tertentu atau OKNUM tertentu orang perorang yang menyalah-gunakannya kepada warga sipil tak bersenjata (padahal AS mentransfer ilmu dan memberikan bantuan material apapun juga untuk penanganan terorisme), maka penyimpangan ini sangat layak dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam hal itulah, AS harus mulai melacak secara cermat dan seksama, apakah memang ada hal-hal semacam ini terjadi di mana saja !


Harus Presiden OBAMA yang memberikan perintah langsung tentang penertiban semua itu agar seluruh perangkat dibawahnya tunduk dan patuh kepada perintah kepala negara negara.
Dengan demikian, akan mudah melakukan penelusuran dan pembuktian terhadap semua penyimpangan atau penyalah-gunaan itu.

Berbicara di Den Haag (Belanda), pengumuman tentang penghapuskan kalimat atau motto “PERANG MELAWAN TEROR” tadi disampaikan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton.
Peran Hillary juga pasti ada dalam misi pelurusan kembali penanganan terhadap terorisme ini.
Menurutnya, Pemerintahan Bush yang telah digantikan oleh Presiden Obama memutuskan penghapusan frasa penggunaan kalimat “PERANG MELAWAN TEROR” antara lain karena dijadikan alat pembenaran untuk melakukan intervensi ke Irak dan pemenjaraan tahanan tersangka pelaku teror di Guantanamo, Kuba, dan banyak penjara rahasia CIA di luar negeri.
Tentu Indonesia juga harus menyambut baik kebijakan ini. Semoga saja, ini akan membawa dunia ke arah yang lebih baik.

Tetapi, pasca diberlakukannya kebijakan ini maka yang perlu diwaspadai bersama adalah dampaknya. Entah dari kalangan teroris itu sendiri, atau dari OKNUMtertentu yang merasa kehilangan “lahan rezeki nomplok” karena patut dapat diduga sudah terlanjur menjadikan isu terorisme menjadi “komoditi dagang”.

Jangan diberi ampun kepada siapa saja yang mencoba untuk bermain-main dengan keselamatan, keamanan dan ketentraman dunia. Tapi jangan dibiarkan ada yang bermain-main dengan segala arogansi penuh rekayasa. Ode adalah sebuah nyanyian tentang penghargaan dan pujian kepada seseorang yang telah melakukan sesuatu yang baik.


Dalam hal ini, Presiden Obama dengan sangat bijaksana telah melakukan terobosan yang niscaya akan membantu secara sungguh-sungguh membawa dunia ke arah yang jauh lebih baik. Thank you very much, Mr President !
MS

Balada Mantan Eselon Dua Yang Salah Tuding Ke Muka Jaksa Agung

Jakarta  (DOKUMENTASI KHUSUS KATAKAMI YANG DIMUAT DESEMBER 2008)  Tampaknya, kali ini Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar harus menanggung malu dan perlu menyampaikan permohonan maaf kepada Jaksa Agung Hendarman Supandji. Mengapa demikian dan ada apa sebenarnya ? Hari Senin (1/12/2008), Antasari mantan pejabat eselon 2 di Kejaksaan Agung ini, berbicara emosional kepada wartawan untuk mengecam Hendarman terkait pernyataan Hendarman mengenai adanya perbedaan anggaran operasional di KPK dan Kejaksaan Agung bagi para Jaksa dalam menangani kasus-kasus korupsi.

Luar biasa, Antasari begitu “percaya diri” dan sangat berani mengecam pimpinan tertinggi dari sebuah Institusi sebesar Kejaksaan Agung. Ia tidak sadar, kecaman terbukanya itu salah sasaran dan berdampak buruk yaitu menjatuhkan martabat Hendarman dan Kejaksaan Agung secara institusi. Barangkali, ini dapat menjadi bahan perenungan bagi Antasari jika ke depan ingin “menghajar” institusi atau pimpinan instansi lain.


Tidak eloklah kalau sesama Pejabat Negara mau menjatuhkan Pejabat Negara yang lain dengan cara mengumumkannya terbuka dalam panggung pemberitaan nasional lewat media massa.

Justru, Antasari yang harus tahu diri bertanya kepada Jaksa Agung, apakah benar sudah mengucapkan hal ihwal tertentu yang mau digugat Antasari lewat panggung pemberitaan yang sangat luas.

Sehingga, kalau misalnya Antasari tahu diri untuk bertanya dulu, pasti tidak akan semalu sekarang. Sudah jumpa pers dan terang-terangan menyerang Jaksa Agung, ternyata salah serang.

Jadi, benarlah falsafah yang ada di tengah masyarakat yaitu “Jangan menuding orang lain dengan jari telunjukmu, sebab ketika jari telunjuk itu kau arahkan ke muka orang lain, empat jari yang lain menuding ke arah dirimu sendiri !”

Berikut ini kami muat dua berita yang dimuat Situs Berita Okezone dan Detik.COM, sebab kedua media online ini juga termasuk yang mendengarkan langsung jumpa pers Ketua KPK yang sangat “percaya diri” tadi.

Di Situs Okezone termuat berita KPK Protes Pernyataan Jaksa Agung (yang dimuat pukul 16.22 WIB) : 
<<<   “Kejaksaan bilang (anggarannya) hanya Rp20 juta, sementara KPK Rp300 juta, ini perlu saya luruskan saya tidak memahami pernyataan Jaksa Agung,” sergah Antasari. Menurut Antasari pihaknya telah mengkalkulasi biaya dalam penanganan sebuah kasus dan hasilnya tidak lebih dari Rp25 juta, bukan seperti yang diungkapkan Jaksa Agung bahwa KPK memiliki anggaran Rp300 juta per kasus.

“Setelah kami kalkulasi kurang lebih Rp25 juta per kasus,” ungkapnya. Dia menyesalkan sikap Hendarman Supandji yang mengeluarkan pernyataan tersebut tanpa konfirmasi terlebih dulu ke KPK. “Kenapa harus ngomong ke pers. Kami tidak menggunakan uang berlebihan. Sebaiknya Pak Jaksa Agung sebelum mengeluarkan pernyataan harus konfirmasi ke KPK dulu,” katanya. >>>

Demikian yang dimuat di Situs Okezone.

Sedangkan yang termuat di Situs Detik.Com pada pukul 16.19 WIB berjudul “Ketua KPK Sentil Jaksa Agung” isinya “
<<<  Ketua KPK Antasari Azhar meluruskan pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang menyebut KPK mendapat dana Rp 300 juta untuk menyelesaikan tiap kasus. Padahal jika dihitung, KPK hanya mengantongi Rp 25 juta.

“Setelah dihitung-hitung untuk 1 kasus hanya Rp 25 juta, tidak jauh berbeda dengan Kejaksaan. Saya mau meluruskan sebab kesannya jauh sekali antara Kejagung dan KPK. Jaksa Agung sebelum keluarkan statement konfirmasi dulu ke KPK supaya tidak rancu,” papar Antasari.

Hal ini disampaikan Antasari di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (1/12/2008).

Dikatakan dia, Jaksa Agung Hendarman Supandji membandingkan anggaran untuk menyelesaikan sebuah kasus antara Kejaksaan dengan KPK. Kejaksaan dapat Rp 20 juta per kasus dan KPK Rp 300 juta.  “Saya tidak memahami dapat informasi dari mana Kejaksaan,” katanya. >>>

Demikian isi dari pemberitaan di Situs Detik.Com.

Lalu, apa sebenarnya yang dipermasalahkan oleh Antasari sehingga ia begitu “percaya diri” hendak melumat Hendarman Supandji di hadapan para wartawan ? 

Hari Sabtu (29/11/2008) lalu, Jaksa Agung diundang untuk menjadi pembicara dalam Seminar yang diadakan almamaternya yaitu Universitas Diponegoro Semarang. Walau Undip adalah almamaternya sendiri, kehadiran Hendarman dalam Seminar itu adalah sebagai Pembicara Tamu. Panitia atau Tuan Rumah adalah Undip Semarang.

Seminar itu diikuti oleh para Jaksa di Jawa Tengah dan diadakan tertutup.

Tetapi, Panitia dari Universitas Diponegoro ternyata memperbolehkan wartawan untuk ikut mendengarkan materi pembicaraan yang disampaikan Hendarman. Barangkali karena materi pembicaraan dari Hendarman itu memang dinilai “menarik” oleh Pers, maka sebagian media memuatnya.

Termasuk KATAKAMI.COM ikut mengutip pernyataan tersebut dan merangkumnya ke dalam satu tulisan yang berjudul, “Jaksa Agung Tegaskan Urip Pemain Tunggal Tapi Di Kejaksaan Masih Ada “Jaksa Nakal” Lainnya.

Pada Seminar itu, salah seorang peserta yang kebetulan berprofesi sebagai seorang Jaksa bertanya kepada Hendarman terkait minimnya tingkat kesejahteraan para Jaksa.

Kami muat cuplikannya dari berita yang kami rangkum dari kehadiran Hendarman dalam Seminar di Undip Semarang :


<<<  Saat menjadi pembicara di Seminar tersebut, Hendarman “ditodong” dengan pertanyaan dari salah seorang peserta yang berprofesi sebagai Jaksa.

Jaksa ini menyatakan bahwa gaji jaksa masih sangat kecil yang hanya Rp 1,5 juta hingga Rp 1,9 juta.

“Gaji ini sangat kecil dan menjadi kendala dalam bekerja,” keluh jaksa itu kepada pimpinan tertingginya.

Hendarman menjawab bahwa saat ini pihaknya sedang menyusun anggaran tambahan untuk para jaksa tersebut. Secara lisan permintaan tambahan anggaran ini sudah disampaikan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani. >>>

Demikian cuplikan dari berita yang dimuat sebelumnya di KATAKAMI.COM.

 

Sehingga, perlu disampaikan kepada Ketua KPK Antasari Azhar bahwa dirinya telah salah tuding.

Tidak pernah dan tidak benar jika Jaksa Agung sengaja mengundang wartawan dan sengaja membeberkan bahwa ada perbedaan anggaran antara KPK dan Kejaksaan Agung.

Apa yang disampaikan Jaksa Agung dalam seminar di Universitas Diponegoro Semarang itu adalah materi pembicaraan tertutup kepada lingkungan yang sangat terbatas dan rata-rata berprofesi sebagai Jaksa. Artinya, itu adalah pembicaraan “keluarga” dari seorang Bapak kepada anak-anaknya didalam keluarga besar “Kejaksaan”.

Ini urusan “rumah tangga” Kejaksaan yang membahas kabar dari luar bahwa ada kelebihan pendapatan yang diperoleh pada Jaksa yang bertugas di KPK. Pada kesempatan seminar itu, Hendarman baru berbicara kepada Pers setelah acara selesai.

Itupun mantan Jampidsus ini tidak pernah menjajakan dirinya atau menyodorkan bibirnya ke corong mic media pertelevisian agar “nampang” di televisi biar populer. Antasari salah besar.

Kasihan betul, sudah menjadi Ketua KPK tetapi tidak akurat dalam menyampaikan sesuatu yang terbuka kepada publik. Satu-satunya topik yang bersedia dijawab oleh Hendarman secara singkat saja adalah kasus Urip Tri Gunawan.

Sebab, sehari sebelum Hendarman muncul di Semarang itu, Pengadilan Tinggi Tipikor menguatkan putusan sebelumnya terkait vonis kepada Urip yaitu tetap mendapatkan pidana kurungan 20 tahun penjara.

Hendarman mengatakan bahwa dalam kasus suap Artyalita Suryani, Urip adalah pemain tunggal dan Pengadilan sudah memutuskan bahwa  tidak ada pejabat lain yang menerima bagian uang itu. Sehingga jangan heran, semua media massa memuat pernyataan Hendarman bahwa Urip adalah pemain tunggal.

Sementara kalau berbicara soal adanya anggaran berlebih dari para Jaksa yang kini bertugas di KPK, barangkali Antasari perlu mengendalikan anak buahnya di KPK.

Saat Hendarman mengadakan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR-RI bulan September 2008, ia sudah lebih dahulu kepada para Anggota Dewan yang terhormat diceritakan bahwa Jaksa-Jaksa yang kini bekerja di KPK sering datang ke Kejaksaan Agung. Mereka bercerita tentang berapa “isi kantong” yang mereka terima setelah bekerja di KPK. Dan cerita itu membuat moral dari para Jaksa di Kejaksaan Agung menjadi jatuh. Sebab para Jaksa di Kejaksaan Agung akhirnya menjadi tahu berapa pendapatan rekan-rekan mereka yang sekarang bertugas di KPK.

Jika ada yang sekarang balik bertanya, untuk maksud apa Jaksa-Jaksa di KPK sekonyong-konyong ada yang datang bertandang ke Kejaksaan Agung dan pamer tentang “tebalnya” kantong mereka sejak bekerja di KPK.

Apa itu maksudnya ?

Biasanya, apa saja rahasia dan segala sesuatu yang sifatnya tertutup di Kejaksaan Agung, Antasari ketahuan “menguping” dan cepat bereaksi.

Contoh soal, saat Jampidsus Marwan Effendy menjadi Pembicara dalam Pelatihan para Jaksa di Kejaksaan Agung. Dalam acara itu, kabarnya pada saat itu Marwan mengatakan bahwa jika terdapat cukup bukti yang kuat maka siapa saja bisa ditangkap di Indonesia ini dalam upaya penanganan korupsi. Misalnya, jika Ketua KPK itu terindikasi punya pelanggaran korupsi dan ada cukup bukti yang memang menguatkan, maka bisa ditangkap tetapi ini kan contoh, begitu kira-kira yang disampaikan Marwan.

Ternyata kabarnya, salah seorang peserta Pelatihan itu ada yang menjadi kerabat Antasari (semacam keponakan). Si Keponakan ini langsung  secara lancang “ember” kepada Antasari dan mengirimkan pesan singkat SMS.

Antasari yang saat itu dikabarkan sedang Umroh di Tanah Suci, bisa dengan sangat cepat memberikan reaksi yang sangat amat sinis yang kepada Marwan yaitu dengan mengirimkan SMS pada saat itu juga.

“Oh, jadi Pak Jampidsus sudah berani sekarang mau menangkap Ketua KPK ?”.

Kabarnya, Marwan sempat terkesima membaca SMS Antasari itu.

Mengapa bisa cepat sekali ada reaksi dari Antasari, padahal baru beberapa menit sebelumnya ia berbicara dan kabarnya Antasari sedang berada jauh di negeri seberang. Tetapi saat itu, dengan gamblang Marwan membalas SMS tersebut dan  menjelaskan isi pembicaraan yang disampaikannya dalam Pelatihan tersebut.

Di Kejaksaan Agung, sejak Antasari hengkang ke KPK, tidak ada satupun Pejabat yang tetap dijalin silahturahminya oleh Antasari, kecuali hanya Marwan Effendy. Tanpa ada penyebabnya, Antasari seakan menjauhi dan tak senang pada seluruh Jajaran Pimpinan Kejaksaan Agung.

Kepada saya, Antasari pernah mengeluhkan bahwa ia sakit hati karena saat ia alih tugas dari Kejaksaan Agung ke KPK, Pihak Kejaksaan Agung tidak membuat “Pesta Perpisahan” yang resmi.

Kesan yang saya tangkap adalah Antasari ingin mendapat pengakuan terbuka dari semua orang di Kejaksaan Agung bahwa ia berhasil menjadi Ketua KPK dan dijamu dalam “Farewell Party”. Ngambeknya Antasari hanya karena masalah sepele ini, ternyata bukan karena Kejaksaan Agung tidak mau membuatkannya.

Ketika Jaksa Agung Hendarman Supandji mengisyaratkan agar Kejaksaan Agung perlu membuatkan acara pelepasan bagi Antasari Azhar, secarik nota dinas masuk ke meja kerja Jaksa Agung dari jajaran Eselon I yang memberitahu acara itu sedang disiapkan dan akan dilaporkan jika semua telah siap.

Akibat  penuhnya jadwal kegiatan Kejaksaan Agung, acara perpisahan itu ditentukan pada awal Maret 2008. Memang benar, sepanjang bulan Januari-Februari lalu topik sorotan yang mengemuka adalah soal penyelesaian perkara dari Mantan Presiden Soeharto.

Dari mulai Pak Harto masih dirawat di RSPP Jakarta sampai akhirnya mantan penguasa Orde Baru itu wafat pada akhir bulan Januari 2008, kasus ini terus mendapat sorotan tajam di semua media massa.

Disaat Kejaksaan Agung sudah menyiapkan acara “Pelepasan” untuk Antasari, disaat yang bersamaan terjadilah peristiwa penangkapan Urip Tri Gunawan di rumah Artalyta Suryani (2/3/2008). Antasari buru-buru menolak dan membatalkan kebersediaan dirinya hadir dalam undangan Kejaksaan Agung.

Tetapi herannya, ia masih saja merasa sakit hati dan terus mengungkit bahwa Kejaksaan Agung tidak membuatkan Pesta Perpisahan kepada dirinya saat pindah ke KPK.

Kembali pada permasalahan tudingan Antasari kepada Hendarman bahwa Pimpinan Kejaksaan Agung seakan dituduh sudah sembarangan bicara kepada Pers, tanpa ada dasar-dasar yang kuat dan akhirnya mempermalukan KPK.

Namun sayang, kenyataannya justru Antasari yang salah sasaran, salah tuding dan salah tempat untuk “memamerkan” emosinya.

Kalimat dari Antasari yang berbunyi, “Lain kali Jaksa Agung itu kalau mau bicara, konfirmasi dulu ke KPK, supaya jangan salah kalau bicara dan agar tidak rancu”.

Ini kalimat yang sangat tidak santun dan tidak ada etikanya ! Sudah salah, sok galak pula, begitulah kira-kira istilahnya.

Saat berada di Semarang, sekali lagi, tidak ada satu patah katapun keluar dari mulut Hendarman Supandji kepada kalangan Pers tentang anggaran operasional Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi. Sekali lagi, tidak ada dan tidak pernah Hendarman mencari popularitas dengan dara mengumbar fitnah yang menjatuhkan lembaga lain.

Kasihan, Antasari sudah termakan oleh omongannya sendiri !

Setelah semua terjadi seperti sekarang, dimana dengan “percaya dirinya” Antasari mengatakan agar yang namanya Jaksa Agung itu konfirmasi dulu kepada KPK jika hendak bicara kepada Pers, apa yang mau dikatakan Antasari untuk menarik ucapannya sendiri ? Apakah ia bisa mengumpulkan lagi semua wartawan yang sudah memuat berita itu dan memberitakannya secara terbuka kepada seluruh masyarakat ?

Martabat dari Jaksa Agung dicemari dan dijatuhkan oleh Antasari lewat jumpa pers itu.

Jaksa Agung adalah tipe yang sangat berhati-hati kalau bicara dan ia selalu tahu kapan harus menyampaikan apapun kepada kalangan Pers. Ia tidak haus publikasi. Hendarman tidak pernah tersihir atau terbius oleh gegap gempitanya pemberitaan di semua media massa agar menjadi alat pendongkrak citra.

Minimnya anggaran yang diterima oleh seluruh “anak-anaknya” didalam Keluarga Besar Kejaksaan Se-Indonesia ini, membuat Hendarman harus berupaya maksimal sesuai aturan permainan yang ada di negara ini agar anggaran itu bisa bertambah. Saat ini, proses itu sedang berjalan dan itulah yang disampaikannya secara tertutup kepada para Peserta Seminar di Universitas Diponegoro Semarang.

Tentu Hendarman prihatin saat mendengar anak buahnya mengeluh betapa rendah gaji mereka sebagai Jaksa yaitu hanya Rp, 1,5 juta sebulan.

Hendarman yang kini sedang berusaha menaikkan anggaran bagi para Jaksa, juga ingin memberitahukan bahwa kalau usulan kenaikan anggaran itu disetujui maka itupun memerlukan waktu. Paling tidak, baru pada pertengahan tahun 2009 akan ada kenaikan anggaran seandainya Pemerintah bersedia menaikkan anggaran bagi para Jaksa.

Apa yang salah dari ucapan Hendarman kepada kalangan terbatas di Seminar itu ?

Tidak ada yang salah !

Seminar itu diikuti oleh semua Jaksa di kawasan Jawa Tengah. Bahwa misalnya, kalau Seminar itu boleh dihadiri semua Jaksa Se-Indonesia ini dan diberi tiket gratis misalnya, pasti semua Jaksa di Indonesia ini berbondong-bondong datang menemui Jaksa Agungnya untuk mengeluh dan meratap betapa sengsaranya hidup mereka.

Apa yang salah jika para Jaksa itu mengeluh kepada Pimpinan Tertinggi di Lingkungan Kejaksaan ?

Tidak ada yang salah !

Mereka mengeluh kepada orang yang tepat yaitu kepada “Bapak” mereka sendiri di Kejaksaan. Mereka ingin Hendarman tahu bahwa hidup mereka sengsara dan begitu kesulitan mengatasi tingginya biaya hidup di zaman sekarang. Sementara para Jaksa itu tidak diperbolehkan “ngobjek” atau cari uang masuk tambahan lewat cara-cara yang salah.

Dalam hal ini, yang perlu sekali lagi diingatkan kepada para Jaksa di KPK itu bahwa mereka harus tahu diri.

Mereka harus sangat mengendalikan mulut mereka yang gampang sekali bercerita tentang berapa pendapatan yang mereka terima semenjak bekerja di KPK. Jangan pernah lagi memamerkan besarnya pendapatan yang mereka dapatkan disana.

Semoga ini dapat membuat Antasari menjadi paham dan sepenuhnya sadar diri.

Bukan karena kami ingin mempermalukan tetapi materi keterangan pers dari Antasari pada hari Senin kemarin saat mengecam, menuding dan memprotes secara “sinis” kepada Jaksa Agung. Tapi ternyata salah kaprah dan salah alamat.

Sekali lagi, tidak pernah terjadi Jaksa Agung sengaja membeberkan pada Pers agar dimuat bahwa anggaran operasional penanganan kasus korupsi untuk Kejaksaan Agung jauh lebih kecil dari KPK.

Bahwa itu dimuat oleh Pers, jangan salahkan Hendarman.

Ia berbicara dalam forum Seminar di Universitas Diponegoro Semarang itu sebagai “tamu kehormatan”.

Ia diundang oleh Almamaternya sendiri. Ia datang dan berbicara kepada kalangan terbatas saja. Ia  tidak tahu kebijakan dari Panitia lokal yang memperbolehkan Pers ikut mendengarkan “isi” Seminar.

Dan Antasari sebaiknya belajar lebih santun dan elegan jika ingin mengkritik sesama Pimpinan dari lembaga lain yang sama-sama terhormat. Di Indonesia ini, umur KPK baru sekian tahun. Bukan cuma KPK, yang diberi kewenangan untuk melakukan upaya penegakan hukum.

Antasari harus belajar menghormati Pejabat Negara yang lain, apalagi Jaksa Agung kedudukannya berada langsung dibawah Presiden. Sebagai Pembantu Presiden, Hendarman tidak pernah tergelincir walau hanya satu kata dalam menyampaikan pernyataan publik. Ia sangat terukur dan terarah. Antasari harus belajar lebih santun, elegan dan sangat diplomatis penuh wibawa, jika satu saat ia ingin menyampaikan kritik. Dan perang terbuka lewat media massa, bukannya langkah yang baik.

Nasi sudah menjadi bubur.

Antasari sudah terlanjur “menyudutkan” Hendarman, tanpa mengerti bagaimana situasi dan duduk persoalan yang sebenarnya. Sebagai Pejabat Publik, hendaklah lebih tahu diri dalam memainkan peranan, menyampaikan keterangan dan mampu memberikan penghargaan kepada Pihak manapun antar Pejabat Penyelenggara Pemerintahan.

Setelah salah tuduh dan asal “ngecap” saja mengkritik terbuka lewat MEDIA MASSA, saya tidak yakin Antasari berani mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada Jaksa Agung. Padahal dampak dari semuanya itu, seorang Pejabat Negara tersudutkan.

 Walau sekarang sudah menjadi Ketua KPK, Antasari harus sadar bahwa saat ini statusnya masih Jaksa yang aktif. Belum pensiun dan belum mengajukan permohonan pensiun dini.  Artinya, Hendarman adalah Pimpinan yang harus ia hormati dan hargai. Secara moral, ini harus dilakukan oleh semua Jaksa.

Dan sebagai Jaksa yang masih aktif, Antasari wajib untuk tetap datang ke Kejaksaan Agung menghadiri upacara atau undangan resmi apapun yang dilakukan Kejaksaan. Tidak ada kata tidak, ini wajib hukumnya bagi semua Jaksa yang masih aktif. Terutama menghadiri Upacara HUT Adhyaksa atau Ulang Tahun Kejaksaan setiap pertengahan bulan Juli.

Bulan Juli (2008) lalu, Antasari memutuskan untuk berada diluar negeri saja ketimbang menghadiri Upacara di Kejaksaan Agung. Setiap Upacara HUT Adhyaksa, Inspektur Upacara adalah Jaksa Agung. Dan semua peserta upacara, wajib memberikan hormatnya kepada Sang Irup yang berdiri penuh wibawa di Panggung Kehormatan.

Antasari tak cuma tercatat sebagai Jaksa aktif, sampai detik ini namanya pun masih tercantum sebagai Pengurus Persaja atau Persatuan Jaksa. Tugas utama dari Persaja adalah membantu Jaksa manapun di Indonesia ini yang menghadapi permasalahan hukum. Tapi apa yang terjadi ? Selama hampir setahun menjadi Ketua KPK, tidak pernah satu kalipun Antasari mau datang lagi ke Kejaksaan Agung menghadiri acara atau upacara apapun. Padahal itu wajib hukumnya.

Dan perlu disampaikan juga fakta ini kepada Para Jaksa atau Polisi yang saat ini bertugas di KPK. Sewaktu-waktu, mereka bisa ditarik tugasnya dari KPK. Begitu juga halnya, dengan Aparat Polri yang sedang dialih-tugaskan di KPK.

Berdasarkan aturan perundang-undangan, ada batas waktu maksimal terhadap penugasan itu. Tidak ada hak dari KPK (entah itu Pejabat KPK dari unsur Kejaksaan atau Polri), setiap bawahan mereka yang berasal dari unsur Kejaksaan dan Polri, semuanya memiliki induk organisasi yang berwenang sepenuhnya mengatur rotasi dan segala permutasian.

Dan Pemerintah juga perlu memikirkan dan mendalami wacana pembubaran KPK secara bertahap. Tidak ada didunia ini, Kejaksaan yang mendua. Tidak Kepolisian didunia ini yang mendua. Dualisme kepemimpinan itu, sangat tidak lazim dan patut untuk segera dilebur kembali ke dalam organisasi mereka masing-masing.

Walau alasan pembentukan KPK karena Kejaksaan dan Polri dianggap tidak mampu memberantas korupsi, tetapi jangan karena kekurang-mampuan itu maka Negara mengizinkan terjadinya dualisme. Seakan ada standar ganda dalam upaya pemberantasan korupsi. Jaksa dan Polisi yang dialih-tugaskan ke KPK berpotensi menjadi “anak durhaka” yang menolak kembali ke induk organisasinya karena di KPK sudah “nyaman” dengan pendapatan yang sangat amat besar.

Kita bisa cermati salah satu contohnya baru-baru ini, bagaimana sewotnya KPK saat dua orang Perwira Polri ditarik oleh Mabes Polri untuk mendapat tugas baru.

Hak apa KPK marah ?

Tidak ada hak untuk marah pada Polri. Keterlaluan jika merasa hebat sudah bisa membentuk SDM tertentu menjadi penyidik korupsi, sehingga ketika induk organisasi memanggil pulang maka KPK memprotes keras.

Presiden SBY, Wakil Presiden, Kabinet Indonesia Bersatu, DPR dan semua pihak perlu merumuskan kembali, jalan keluar terbaik yang berujung pada pembubaran KPK. Jangan ada lagi Jaksa di atas Jaksa atau Polisi diatas Polisi.

Dan, sekali lagi, siapapun yang saat ini masih tercatat sebagai Jaksa aktif, hendaklah mereka sadar diri dan tahu menempatkan diri masing-masing.

Mau tidak mau, harus mau bahwa semua Jaksa di Indonesia ini memang wajib menghormati Pimpinan tertinggi di Kejaksaan. Jangan ada yang arogan dan menjadi sangat tidak tahu diri. Walau Hendarman tidak gila hormat, tetapi faktanya adalah ia Pimpinan Tertinggi di Kejaksaan.

Marilah juga saling menghargai, apalagi antar Pejabat Negara.

Antasari harusnya malu, tidak pernah diusik oleh Hendarman.  Antasari juga harusnya ingat bahwa yang mengusulkan dan mengizinkan ia “melamar” ikut seleksi masuk KPK, adalah Hendarman Supandji.

Ia harus ingat, bahwa saat ia terpilih sebagai Ketua KPK dulu (Desember 2007), semua orang mencaci maki Antasari karena ia dinilai tidak layak memimpin KPK. Alasannya, begitu banyak kasus-kasus korupsi yang dituduhkan kepada Antasari semasa ia bertugas di Kejaksaan Agung. Tetapi saat itu, Hendarman pasang badan dan tetap mengamankan sang anak buah dari jajaran eselon 2 ini agar aman menduduki kursi barunya sebagai Ketua KPK.

Antasari jangan lupa, bahwa saat semua orang mencaci maki dirinya sebagai “koruptor kotor” yang tidak layak jadi Ketua KPK, Jajaran Intelijen Kejaksaan Agung mengamankan ia untuk lancar mengikuti proses Fit And Proper Test.

Masih ingatkah Antasari, bahwa Intel Intel Kejaksaan Agung yang terpaksa mengutip, mencabut dan melepaskan begitu banyak spanduk, poster dan pamflet-pamflet yang dipasangi di berbagai sudut jalan dan Gedung DPR-RI saat Antasari hendak menjalani Fit And Proper Test ?

Semua spanduk, poster dan pamflet itu isinya adalah caci maki yang sangat kotor dan sadis terhadap Antasari Azhar. Semua pihak mengingat dan menuntut agar Antasari diseret ke Pengadilan. Kejaksaan Agung mendapat hantaman keras dan bertubi-tubi saat mengajukan nama Antasari untuk masuk ke KPK.

Dan Hendarman termasuk yang terkena hantaman keras dari mana-mana.

Antasari tidak tahu bahwa secara pribadi Hendarman pernah “memberikan jalan” kepada Pemimpin Redaksi KATAKAMI Mega Simarmata(yang saat itu masih bergabung di Portal Berita INILAH.COM) sebagai seorang jurnalis agar melakukan wawancara eksklusif dengan Antasari disela-sela Rapat Kerja Khusus Kejaksaan di Cianjur (Jawa Barat) pada pertengahan Desember 2007.

Ketika itu, Antasari sudah terpilih sebagai Ketua KPK tetapi hantaman publik sangat keras disemua media massa atas terpilihnya Antasari.

Wawancara eksklusif itu diharapkan bisa “menetralisir caci maki yang sangat menyakitkan hati Kejaksaan Agung akibat “pasang badan” untuk Antasari. Hendarman sampai harus memerintahkan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Thomson Siagian, untuk menjemput Antasari dari kamar hotelnya dan didampingi selama menjalani wawancara eksklusif.

Ketika itu, Hendarman sangat terbeban oleh kuatnya gempuran dari semua pihak yang membuka semua rekam jejak Antasari dinilai “kotor dan korup” sepanjang bertugas di Kejaksaan.

Jika tidak diimbangi maka pemberitaan yang negatif mengenai Antasari akan melahap habis martabat Antasari dan Kejaksaan Agung. Dan memang, wawancara eksklusif itu setidaknya bisa meredam sebagian tekanan dan menaikkan pamor Antasari. (Hasil wawancara eksklusif tersebut terlampir di bagian penutup tulisan ini, red).

Dan sekarang kalau misalnya ditanyakan, apakah dengan tertangkapnya satu orang oknum saja yang bernama Urip Tri Gunawan karena kasus suap sebesar USD 660 ribu, maka dapat menghapuskan semua rekam jejak dan memori buruk banyak orang terhadap figur Antasari ?

Belum tentu !

Jangan sakiti perasaan orang-orang yang sudah berjasa kepada diri kita secara tulus iklas. Jangan merasa bahwa kita mendadak menjadi jauh lebih hebat dari siapapun dimuka bumi ini.

Hendarman begitu menghargai Antasari, bekas anak buahnya yang cuma dari level Eselon II ini. Tapi, Hendarman bisa dengan sangat elegan memberikan penghargaan dan kerjasama yang baik. Padahal kalau mau sombong, ia bisa saja pongah.

Kalau dalam urusan kepangkatan di TNI dan Polri misalnya, pejabat eselon II itu setara dengan perwira menengah Kombes atau Kolonel. Tetapi begitu Antasari menjadi Ketua KPK, maka pangkatnya menjadi setara dengan Jenderal bintang 4. Bayangkan, betapa jauhnya perbedaan pangkat itu tetapi sejak pertama terpilih, Hendarman memberikan penghargaan yang tinggi kepada Antasari.

Namun sayang, Antasari begitu kesulitan untuk menyadari dan merasakan bahwa dirinya dihargai.

Merujuk pada ilmu padi, harusnya kalau memang memiliki isi maka sang padi biasanya selalu “merunduk” Bukan mendongak atau menggelegar bicaranya untuk menghardik Pihak lain yang tidak bersalah.

Silahkan diproses secara hukum, siapapun oknum Jaksa yang memang melakukan perbuatan melawan hukum !

Dan kalau mau tegas dan berkeadilan dalam menegakkan hukum, sebenarnya perlu juga diproses jika memang ada indikasi terjadi dugaan “penyuapan” di lingkungan Kejaksaan. Sebab, misalnya saja tentang adanya laporan masyarakat bahwa ada dugaan penyuapan dari oknum yang hendak meraih jabatan lain diluar Kejaksaan Agung di penghujung tahun 2007.

Nah, setelah heboh dengan kasus Urip, bisa jadi Kejaksaan Agung harus heboh lagi karena oknum Jaksa yang berikutnya bisa-bisa terkena peraturan memakai seragam koruptor.

Apa boleh buat jika memang sampai itu harus terjadi karena tidak ada jaminan bahwa bisa dipakai oleh oknum Jaksa itu, karena diam-diam ada yang sebenarnya jauh lebih parah kelakuannya dibanding Urip.

Belum saja rahasia itu terungkap, tetapi kalau tiba-tiba bisa terungkap ?

Bagus dong.

Kembali pada masalah Antasari yang salah memprotes dan salah menuding muka Jaksa Agung yang nyata-nyata tidak bersalah, sadarilah bahwa yang salah itu memang salah.

Jadi sampaikanlah maaf yang tulus kepada senior dan “abang” yang tidak bersalah itu tapi sudah terlanjur dipermalukan !

(MS)

WAWANCARA EKSKLUSIF
Antasari Azhar  : Silent is Golden
(Dimuat di INILAH.COM 14 Desember 2007)
Mega Simarmata
 

INNChannels, Jakarta ?Segera setelah namanya ditetapkan sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hujan komentar dari berbagai pihak kontan mengungkungi keseharian Antasari Azhar. Hampir semua komentar itu bernada sama: skeptis dengan terpilihnya Antasari. Sinisme dan pesimisme menyertai ayunan langkah Antasari yang akan dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Selasa (18/12).

Padahal, di hadapannya, telah menunggu seabrek tugas berat, sensitif, pelik, dan penuh risiko. "Silent is golden," tukasnya ketika disinggung soal reaksi banyak pihak atas jabatan barunya. Selebihnya, Direktur Penuntutan pada Jampidum Kejaksaan Agung itu menjawab serangkaian pertanyaan INNChannels dalam wawancara khusus, Jumat (14/12) di sela penutupan Raker Kejaksaan Tinggi se-Indonesia di Cianjur, Jawa Barat. Berikut petikannya:

Belakangan Anda jadi sangat terkenal. Dari semua sudut datang serangan. Dihujat sana sini. Apakah moril seorang Antasari Azhar tetap terjaga baik dalam mengemban tugas mulia sebagai Ketua KPK?

Ohh, masih, Alhamdulilah. Saya tidak terganggu dengan situasi seperti itu. Sepanjang perjalanan karir saya sebagai jaksa, berbagai tekanan pernah saya alami. Sebagai manusia, kita harus dengan lapang dada mengambil sisi positif dan maknanya. Ini sebuah kritikan dan keraguan. Buat saya, kritikan dan keragu-raguan dari pihak tertentu semacam ini justru menjadi penyemangat dalam menjalani tugas. Saya tidak akan pernah mau membalas kritikan-kritikan pedas. Saya tidak akan mengeluarkan kritikan yg sama pedasnya.

Mengapa Anda diam saja, sementara ada pihak yang bisa jadi ingin melakukan pembunuhan karakter? Bukankah kemungkinannya hanya dua, yaitu semua tudingan itu benar atau karena Anda justru sedang menunggu situasinya reda dan menyadari bahwa diam itu emas, silent is golden?

Saya memilih yang kedua karena memang itulah yang terjadi. Saya diam, tapi sebenarnya saya mencermati situasi yang berkembang. Betul sekali, diam itu emas. Diam bukan berarti mengiyakan semua tudingan negatif. Saya tahu diri. Saya baru saja terpilih di parlemen. Tuduhan-tuduhan itu sudah saya klarifikasi dalam tiga momen. Momen fit profelasi lembaga independen, saya klarifikasi. Mohon temui pihak-pihak bersangkutan untuk mengecek kebenarannya. Dari sejumlah kandidat, saya terus lolos. Ketika jumlah kandidat tinggal 26, panitia seleksi mengajukan pertanyaan yang sama. Ya, saya klarifikasikan lagi.

Soal apa yang bolak-balik ditanyakan dan dipermasalahkan?

Saya dibilang lambat mengeksekusi Tommy Soeharto. Terus lambat menangani kasus Bupati Kepulauan Riau Hoezrin Hood. Pernah menerima suap Rp 3 miliar dari Bupati Konawe di Kendari, Sulawesi Tenggara. Itu yang terus ditanyakan.

Oke, soal Tommy Soeharto, sejujur-jujurnya apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah ada kesengajaan Anda waktu itu memperlambat eksekusi Tommy?

Saat kejadian itu, kenapa tidak ada yang meributkan. Saya yang membawa dan mengeksekusi Tommy ke Cipinang. Dokumentasi pers tentu masih ada. Terutama dari media elektronik. Bisa dicek. Silakan dibuka filenya.

Soal Hoezrin Hood bagaimana?

Saya pikir inilah lid (penyelidikan -Red) tercepat dari Kejaksaan. Penyelidikannya hanya sepekan. Saya turun bawa anggota. Ketika itu, saya bertugas sebagai Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Riau. Atas perintah Jaksa Tinggi, saya turun bawa dua asisten dan dua orang Kasie. Saya tunggu penyelidikan. Pulang ke sana kami lakukan penyidikan pemberkasan. Dua bulan sidang. Nah, di mana letak keterlambatannya?

Lalu, bagaimana pula soal dugaan suap dari Bupati Konawe?

Itu fitnah. Kapan saya ketemu dia? Waktu perkara itu dipaparkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri, saya lihat sudah cukup bukti. Talikan jadi penyidikan. Nah, ketika berjalan persiapan pelimpahan ke pengadilan, saya justru pindah ke Sumatera Barat. Tapi, persidangan terus berjalan.

Kalau memang ketiga kasus itu yang diributkan, apakah Anda memang memperkaya diri sendiri dengan menerima suap dari mereka?

Sudah saya laporkan angka kekayaan saya pada 2001 dan 2007 ini saat saya mengikuti proses pemilihan di KPK. Pada 2001, kekayaan saya hampir mendekati Rp. 1 miliar. Ini yang sering menimbulkan kesalahan persepsi. Kita lapor itu bukan harga waktu kita membeli, tapi harga saat kita melaporkan kekayaan itu. Nah, di 2007 ini, angka kekayaan saya semuanya Rp. 3 miliar. Ada kenaikan Rp 2 miliar. Tapi, saya bisa mempertanggungjawabkan kenaikan itu.

Oke, jelaskan saja di sini. Dari mana Anda mendapatkan penambahan Rp 2 miliar itu? Apakah Anda menerima suap atau punya deposito tertentu?

Saya tidak pakai kartu kredit. Saya sama sekali tidak punya deposito. Tambahan Rp. 2 miliar berasal dari pihak istri saya. Istri saya adalah putri tunggal. Anak saya adalah cucu tertua dari mertua saya. Ketika ibu mertua saya sakit-sakitan dan menjelang meninggal dunia, beliau sudah berpesan kepada saya, beliau punya ini dan itu, tolong diurus. Di daerah Duren Tiga ada rumah. Ibu mertua ingin rumah itu untuk kedua putri saya agar tidak terhambat kuliah mereka. Begitu ibu mertua saya meninggal, sesuai amanah almarhumah, istri saya menujual rumah itu dan laku Rp. 2,5 miliar. Dengan menggunakan uang itu, kami beli satu lagi rumah di BSD 3. Tidak jauh dari rumah kami. Tapi, ada yang menyebut saya punya rumah di Pondok Indah. Saya justru heran. Sebab, saya memang tidak pernah punya dan tidak pernah membeli rumah di kawasan mewah seperti Pondok Indah. Rumah saya di BSD. Walaupun ini kekayaan istri, daftarnya kan masuk ke daftar kekayaan saya juga. Padahal, itu merupakan hak dari istri dan kedua anak saya.

Artinya, hanya ketiga kasus itu yang dipermasalahkan?

Selama proses pemilihan di KPK ini, ya, tiga kasus itu yang dipermasalahkan. Bahkan, di DPR, ada tambahan dua kasus lagi yang dipermasalahkan, yaitu kasus menghilangkan tersangka di Lampung yang terjadi 12 tahun lalu. Kemudian?

Kasus apa yang di Lampung? Bisa dijelaskan?

Ini error in persona. Panjang ceritanya. Tapi, dengan dimunculkannya isu ini, ketahuan sekali kesengajaan melakukan pembunuhan karakter terhadap diri saya. Ketika itu, justru saya yang diperintah untuk menindak jaksa yang nakal itu. Lho, kok saya yang dituduh menghilangkan.

Oke, kasus satu lagi yang dipermasalahkan soal apa?

Kasus Aerowisata. Saya dituduh menjual barang bukti kasus Aerowisata. Justru saya jugalah yang menangkap tangan dari perbuatan jaksa ini. Saya laporkan kepada pimpinan. Mereka diperiksa dan terkena PP 30. Salah seorang di antara mereka meninggal dunia. Bukan saya penyidiknya. Waktu itu saya justru menggantikan Kasubdit Penyidikan di Pidana Khusus. Saya gantikan karena teman itu mendapat promosi. Saya teliti kok ada perkara ini? Mengapa tidak dilimpahkan ke Penuntutan? Panggil jaksanya! Maka, dipanggillah jaksanya. Biasanya, kita melimpahkan penuntutan itu kalau sudah ada berkas, tersangka, dan barang bukti. Nah, dalam kasus ini berkas ada, tersangka ada, tapi kok barang bukti tidak ada? Akhirnya saya hentikan dulu, periksa kembali, dan terbukti. Tapi, dalam laporan itu, kok malah saya yang melaporkan menghilangkan barang bukti.

Citra yang berkembang sekarang, ada Ketua KPK baru dihujat ramai-ramai. Seakan Antasari Azhar tidak punya kredibilitas, integritas, dan kapabilitas. Tapi, kalau digunakan logika terbalik, dengan adanya Ketua KPK dari Korps Kejaksaan, sepertinya ada pihak tertentu yang merasa tidak nyaman dan terancam dengan posisi baru Anda sebagai Ketua KPK. Apa komentar Anda?

Tidak ada kata lain dari diri saya kecuali saya akan melaksanakan tugas baru saya dengan sebaik-baiknya. Saya ini bukan politikus. Saya ini aparat penegak hukum. Jadi, fakta dianalisis, ada peristiwa pidana, cukup alat bukti, maju! Saya kira jaksa atau polisi manapun, jika terus menjaga profesionalitas mereka, akan mengatakan hal ini juga. Sebaliknya, jangan nanti dalam tugas saya di KPK saya diberikan suatu fakta, tapi setelah diteliti tidak ada bukti dan saya dipaksa tetap mengusut. Maaf, saya harus tetap profesional. Selama ini orang lebih menghargai tindakan pemberantasan korupsi yang represif.

Maksudnya?

Pemberantasan korupsi itu punya dua sisi, yaitu represif dan preventif. Ini akan saya lakukan nanti. Obsesi saya sebagai Ketua KPK, menangkap ribuan orang kalau memang ada faktanya, kenapa tidak? Tapi, sasarannya adalah bagaimana caranya agar kita bisa meminalisasi kebocoran keuangan negara. Kemudian keuangan itu efektif bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat. Makanya, perspektif saya adalah pemberantasan korupsi dalam perspektif pertumbuhan ekonomi (kesejahteraan dan kepentingan masyarakat -Red).

Hujatan dan kritikan yang bertubi-tubi setelah Anda terpilih sebagai Ketua KPK yang baru, sebenarnya menjadi beban tersendiri bagi Korps Kejaksaan. Seakan-akan nama Kejaksaan jadi buruk sekali. Itu bisa menjatuhkan moril insan Adhiyaksa. Padahal, justru kepercayaan ini kebanggaan. Ada Jaksa mendapat tugas baru dan mulia. Anda prihatin?

Proses pemilihan di KPK membutuhkan waktu enam bulan. Bukan asal tunjuk. Dari 661 pelamar, dilakukan seleksi administrasi, lolos 500 orang. Calon pelamar diperintahkan membuat makalah dan makalah itu diperiksa tim independen. Lolos lagi 200 orang. Dari 200 itu, berlanjut ke proses psikotes. Juga ada perangkat penyeleksian lainnya. Saya lolos sampai tahap 26 orang. Kemudian, dari 26 orang itu, harus ada fit and proper test (uji kepatutan dan kelayakan -Red) oleh panitia seleksi. Proses ini dapat disaksikan masyarakat umum melalui layar monitor. Nah, saya lolos masuk ke 10 besar. Ke 10 orang ini diperintahkan membuat investigasi lapangan. Saya buat. Kemudian, ada juga yang menginvestigasi harta kekayaan saya. Saya lolos ke dalam 5 besar. Begitulah urut-urutannya.

Dari proses seleksi selama enam bulan itu, apakah Anda menggunakan politik uang, menyuap pihak tertentu agar Anda lolos seleksi?

Tidak ada sama sekali. Proses penerimaan dari 26 orang menjadi 10 orang dilakukan tim independen. Saya mengikuti semua itu berdasarkan kompetensi. Jika memang saya dipercaya dengan latar belakang diri saya seperti ini, silakan. Yang jelas, sejak awal saya memang sudah bersiap-siap, jika masuk ke area lembaga politik pasti akan ada yang dipolitisasi.

Mungkinkah Kejaksaan Agung yang 'bermain' untuk mengamankan Anda agar bisa terpilih?

Saya tidak punya tim sukses. Saya tiap hari di kantor. Selama mengikuti proses ini, saya tetap di kantor. Kecuali kalau ada tugas luar. Jadi, kalaupun disebut ada tim sukses, mereka adalah pegawai saya yang membantu saya menyelesaikan tugas-tugas saya yang sekarang. Dukungan yang saya terima dari korps saya sebatas dukungan moril. Artinya, lakukanlah yang terbaik karena tampilnya Antasari Azhar dalam proses pemilihan Ketua dan Anggota KPK yang baru, orang akan melihat korps saya, yaitu Kejaksaan. Saya sudah mengabdi 25 tahun pada Korps Kejaksaan. Apakah mungkin saya berani atau mau mempermalukan korps saya sendiri? Tidak. Saya tidak akan pernah mempermalukan korps saya sendiri.

Apa komitmen Anda sebagai Ketua KPK yang baru?

Dengan mengucapkan Bismillah, saya akan melakukan yang terbaik dalam tugas saya yang baru, dengan kewenangan yang ada di KPK.

Jangan sampai terjadi, karena Anda berasal dari Kejaksan, dalam tugas-tugas di KPK ke depan kerja sama optimal dan harmonis hanya akan dilakukan dengan Pihak Kejaksaan. Bukan begitu?

Wah, tidak begitu. KPK harus selalu melakukan koordinasi dan supervisi dengan Kejaksaan dan kepolisian. Peningkatan untuk pengawasan, misalnya dari Irjen, Bawasda, dan lainnya. Pimpinan KPK itu kan kolektif. Setiap keputusan diambil secara kolektif. Apapun langkah dan target KPK, itu tergantung pada keputusan kolektif walau nanti saya yang memimpin.

Ada yang khawatir kerja sama Anda dengan Kejaksaan jauh lebih baik ketimbang kerja sama dengan kepolisian. Komentar Anda?

Tidak, tidak ? tidak akan seperti itu! Kepolisian itu mitra kami selama ini. Jiwanya UU 30 seperti itu. Kecuali kalau diubah. Tidak bisa saya melakukan sesuatu di luar undang-undang.

Ini berarti Anda menjanjikan prestasi terbaik sebagai Ketua KPK yang baru ya?

Tidak ada keraguan sedikitpun di dalam diri saya untuk melakukan pemberantasan korupsi. Dari sisi penegakan hukum dan langkah-langkah hukum, tidak sedikitpun ada keraguan selama fakta itu didukung alat bukti dan sesuai dengan Hukum Acara.

Bagaimana dengan dukungan keluarga?

Keluarga memberikan dukungan dan doa agar saya bisa bertugas dengan baik. Dan, terpenting, saya ini umat beragama dan segala sesuatu harus dimulai dengan Bismillah. Saya harus melakukan tugas mulia ini dengan iklas dan sayapun harus senantiasa berada dan berjalan di jalan Allah. Percayalah, Allah akan memberikan yang terbaik untuk kita. Kita ini umat-Nya. Tuhan tidak akan memberikan beban yang lebih tinggi kepada umat-Nya. Itu pegangan saya dalam melangkah.

Anda berasal dari keluarga besar ya?

(Tertawa -Red). Ya, saya ini anak ke-4 dari 15 bersaudara. Saya lahir di daerah Bangka Belitung. Ketika saya tamat SD, sangat kuat keinginan saya merantau. Ayah saya pegawai negeri, bekerja di kantor pajak. Keuangan terbatas. Ibu saya mengatakan, boleh saja merantau, tapi selesaikan dulu khatam Al Qu'ran. Maka, waktu itu saya khatam Al Ou'ran, dan saat mau masuk SMP, saya merantau ke Jakarta. Sendirian saya merantau sampai kuliah. Waktu SMP, saya sempat jadi loper koran untuk menambah uang saku.

Di mana Anda jadi loper koran?

(Tertawa -Red). Waktu itu saya loper koran Berita Yudha di daerah Cikini, Jakarta Pusat. Saya menunggu di Percetakan Grafika dan setelah cetak saya bagikan.

Jadi, kehidupan yang keras dan penuh penderitaan ini sudah Anda rasakan sejak kecil?

Saya sadar sepenuhnya bahwa hidup ini keras. Kita harus tetap iklas dan menjaga iman. Saya buktikan kepada orangtua saya bahwa saya mampu meraih keberhasilan di perantauan. Kisah sejarah hidup saya ini saya ceritakan kepada kedua putri saya. Nah, akhirnya mereka tidak mau menggunakan nama saya di belakang namanya. Selalu disingkat. Yang besar, Andita AP, yaitu Andita Antasari Putri. Yang kedua, Ajeng AP, yaitu Ajeng Antasari Putri. Saya sempat tanya, lho kenapa nama Papa disembunyikan? Mereka bilang nanti orang bilang mentang-menang jadi anaknya Antasari. [I3]